Tuesday, February 13, 2007
JALAN KEARIPAN MENCAPAI HAKEKAT KEMANUSIAAN
Pendahuluan
Jauh sebelum kita lahir telah tumbuh dan berkembang kehidupan manusia yang kini telah menjadi artepak budaya. Mereka adalah masa lalu yang memebentuk kita saat ini. Lewat warisan-warisannya kemudian kita menata sabda menjumput hidup merajut benang-benang kusut yang sengaja ataupun tidak dititipkan kepada generasi sekarang.
Warisan masa lalu tersebut sangat beragam, tidak hanya berbentuk budaya materil berupa artepak, fosil atau reruntuhan kota; bentuk lain warisan budaya yang berupa rekaman pergumulan manusia dalam mendefinisikan dirinya dengan keberadaan eksistensi diluar dirinya baik berupa alam, lingkungan hidup dan perjalanan spritual banyak terangkum dalam foklor. Foklor ini berupa dongeng, legenda, cerita dan dikenal dengan mitos atau mitologi.
F.A.E van Wouden (1985) mengatakan mitos adalah pemberi pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang dengan menggunakan metafora, simbol, dan lambang-lambang tertentu yang menggambarkan kebaikan-kejahatan, perkawinan-kesuburan, serta dosa dan katarisasinya. Rene Wellek & Austin Warren (1989) berpendapat bahwa mitos ini sebetulnya adalah penjelasan tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Dengan demikian ternyata mitos yang dikandung dalam legenda adalah sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya yang disusun dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya.
Mitologi ini tentu saja merupakan suatu khazanah yang tak ternilai. Kemampuan untuk memahami dan merekonstruksi struktur mitologi budaya beserta karakternya menjadi suatu keharusan bagi generasi penerusnya. Tidak terkecuali bagi orang sunda yang notabene kaya dengan berbagai warisan jenis foklore; seperti legenda Sangkuriang, ciung wanara dan sebagainya. Khazanah ini merupakan kearipan yang perlu digali dan ditafsirkan ulang.
Mitologi Sangkuriang
Tulisan ini akan mencoba menelusuri, menggali dan menafsirkan makna dibalik legenda Sangkuriang. Sangkuriang dalam mitologi Sunda atau Bandung menempati posisi yang sentral. Sangkuriang tak kalah populer dengan cerita/pantun Ciung Wanara (cerita sacral dalam mitologi sunda), Mundinglaya Dikusumah ataupun Padjajaran. Legenda ini paralel dengan mitos Oedipus dari Yunani yang diambil oleh Freud untuk membangun teori Oedipus Complex-nya.
Sebelum lebih jauh membahas legenda ini berikut ini akan disajikan ringkasan ceritanya yaitu sebagai berikut[1]:
“Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu, di tengah hutan Sang Raja kencing dan tertampung dalam tempurung kelapa. Seekor babi hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air kencing tadi. Wayungyang hamil, melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya.
Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG. Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG. Ketika berburu di hutan Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk memburu babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk sehingga luka.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama menuju ke arah Timur akhirnya sampailah di arah Barat lagi dan tanpa sadar telah sampai di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya.
Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuat PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya. Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL, rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi gunung BURANGRANG Ketika bendungan hampir selesai, Dayang Sumbi memohon kepada Hyang Maha Gaib agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), sehingga ketika itu pula fajar pun terbit. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU. Sangkuriang pun mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (NGAHIYANG)”.

Membaca cerita tersebut akan melahirkan multi interpretasi. Sebagian kalangan menilai mitologi Sangkuriang ini adalah bentuk mitologi totemisme primitif sunda sebelum datangnya agama-agama. Pendapat demikian dibantah oleh Alfatri Adlin yang menilai apabila mitologi ini sebentuk totemisme primitif tentu sekarang sudah hilang ditengah budaya sunda kontemporer yang mayoritas beragama islam. Haji Hasan Mustofa sebagaimana yang dikutip alfatri bahkan menilai legenda Sangkuriang sebagai sebuah kisah suluk dari tatar sunda.
Giambatista Vico, seorang filsuf Italia abad 18 menyebut foklor menyimpan 'kebijakan-puitis' (sapienza poetica) atau pesan yang dalam dan tak mudah dipahami. Meski vico mengaitkan jenis kebijakan tersebut dengan budaya primitif --untuk membedakannya dari budaya ilmiah--, rasanya tak ada alasan untuk tidak mengatakan ilmiah dari segi kandungan kearipan yang disampaikan mitologi tersebut. Pada dasarnya menurut Haji Hasan Mustofa hakekat manusia dari jaman dulu hingga sekarang sama saja, yang membedakannya hanya “warna” saja. Pendapat tersebut seirama dengan filsafat posmodernisme yang cenderung melihat tidak ada budaya superioritas yang mengatasi budaya lain[2]. Foklore tidak lebih primitif dari budaya ilmiah, bahkan belum tentu ilmu-ilmu sekarang mampu menggali secara komprehensif kemapanan dari budaya foklore. Setiap jenis mitologi tidak mudah ditafsirkan bahkan sekalipun dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau filosofis seperti hermeunetika dan semiotika. Simbol-simbol yang disampaikan meski memakai bahasa lokal sifatnya universal melintasi ruang melampui waktu hingga ranah budaya dan agama.
Dalam cerita Sangkuriang ini menyimpan simbol[3] yang demikian kaya, seperti babi dan anjing, air seni sang raja, gunung dan lembah, taropong, tempurung kelapa, ayam jago, dan bunga jaksi, perahu-talaga, boeh rarang. Secara rasio kita akan menolak cerita tersebut secara keseluruhan karena sama sekali tidak masuk akal dan tidak beresonansi dengan kesadaran yang mengaktivasi ruang kecerdasan manusia.

Sistematika Pemaknaan Simbol Sangkuriang
Arti adalah hubungan antara sesuatu dengan lingkunganya atau antara teks dengan konteks, sedangkan makna adalah hubungan antara arti dan nilai esensial yang dikandungnya[4] . Menurut Barthes, Memaknai berarti memahami bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi dalam hal komunikasi tetapi mengkonstitusi sistem secara terstruktur[5]. Makna dalam semiologi/semiotik didapatkan dari hubungan antara subjek, referent, dan objek yang terjadi dalam dalam lingkaran hermeneutik. Objek sendiri tidak dipahami sebagai sebuah objek yang mandiri, tetapi objek yang komplek yang saling terkait dalam suatu struktur penandaan.
Kemampuan mengartikan dan memaknai sesuatu dalam budaya Sunda disebut dengan kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan; sindir yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda; simbul yaitu penggunaan dalam bentuk lambang; siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan hati[6].
Melihat kembali dari alur cerita Sangkuriang maka akan ditemukan bahasa-bahasa yang penuh silib, sampir, simbul, siloka, dan sasmita. Secara sepintas cerita tersebut hanya menggambarkan penolakan peyoratif budaya sunda terhadap perilaku incest atau hubungan sedarah. Tetapi apabila ditilik lebih dalam akan ditemukan makna yang lebih kompleks.
Salahsatu kandungan yang didapatkan dari cerita ini akan tergali ketika dilakukan analisis terhadap simbol nama-nama yang dipergunakan. Pendekatan yang bisa dipakai yaitu semantik (berkaitan dengan makna), semiotik (berkaitan dengan penyimbolan), dan etimologi (berkaitan dengan asal usul kata). Untuk kepentingan tersebut berikut akan disajikan tabel yang disarikan dari tulisannya Hidayat Suryalaga:
NO
Nama/Kunci Identitas
ARTI DAN MAKNA
1
SUNGGING PERBANGKARA
Sungging = ukiran,ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > 'ng = penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya " Penanda dari kebaikan/kebenaran sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya"
2
BABI WAYUNGYANG
Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gula. Maknanya: Seseorang yang masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).
3
DAYANG SUMBI (DANGHYANG)
Dang = penanda hormat, honorific. Yang < hyang =" gaib."> Sumbi = 1) tendok = alat untuk menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk arah dalam berlayar. Maknanya: Petunjuk gaib sebagai kendali manusia dalam menentukan arah dalam melayari kehidupannya. Bisa dimaknai pula sebagai kata hati, nurani yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt.
4
SI TUMANG.
tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat tidak mendapat pencerahan.
5
SANGKURIANG.
1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring =" saya," sang =" penanda"> Kuriang < guru + hyang = ego yang gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan ujian kualitas dirinya.
6
TAROPONG
Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2) Alat untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat dengan jelas alur (visi) kehidupannya.
7
SUNGAI CITARUM
Ci < cai =" air."> Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua (hampir hitam) pada kain/benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.
8
SANGHYANG TIKORO
Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya: Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering dilalui makanan entah yang halal atau yang haram
9
GUNUNG PUTRI
Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagi sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.
10
GUNUNG MANGLAYANG
Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan dirinya dari karakter yang kotor.
11
UJUNGBERUNG
Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya : Berakhirnya gejolak hawa nafsu yang negatif.
12
KEMBANG JAKSI
Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . 2) Jaksi = bunga sejenis pohon pandan. Maknanya: Segala sesuatu yang dikerjakan seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya.
13
BO'EH RARANG
Bo'eh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin secara fisik atau secara psikis.
14
BUKIT TUNGGUL.
Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya: Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah dirinya (leluhur) dan juga mempunyai pokok jati dirinya.
15
GUNUNG BURANGRANG.
Burangrang > Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturun dan masyarakat yad. yang pada gilirannya semuanya akan hilang ditelan masa (B.S ngarangrangan).
16
TANGKUBAN
PARAHU
Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkubanparahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh penyesalan.
17
TALAGA BANDUNG.
talaga = danau. >bandung = 1) perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung > bandung + an = memperhatikan, menyimak. Maknanya: Talaga dimaknai sebagai alam kehidupan di dunia ini. Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling ketergantungan yang harmonis), equaliter ( setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam kehidupan)

Makna alur prosa
Dari tabel tersebut apabila diperhatikan secara sistematis akan melahirkan sebuah perspektif baru bagaimana memahami kearipan atau ajaran tentang kosmos[7] dan logos[8] sebagai sebuah sistem petanda[9] yang terkandung secara intrinsik dalam mitologi Sangkuriang. Sebuah uraian yang indah dan metaforis bagimana sebuah struktur kearipan dikemas dalam bahasa yang sederhana, ringan, dan mudah dituturkan tetapi menyimpan pesan kewaskitaan yang mendalam. Sebuah rangkain penanda[10] yang seolah tanpa putus saling memberi arti dan menghasilkan makna-makna mandiri yang kemudian memuncak dalam ketidakterhinggaan metafisis.
Secara sederhana alur cerita diatas melalui bedah etimologis, semantik, dan semiotik adalah gambaran pergulatan manusia dalam menggeluti dirinya untuk mencapai hakekat kemanusiaan yang abadi[11].
Sangkuriang/sang kuring adalah gambaran ego[12] atau diri yang terlempar dan menemukan dirinya dalam keterasingan. Kegerahan dalam menjalani hidup mendorongnya untuk merefleksikan eksistensi kehidupannya. Berusaha menemukan dirinya yang hakiki, keadaan ini disebut dengan wayungyang. Berkat usaha kerasnya sang kuring akhirnya mendapat cahaya pencerahan, hidayah, dan kebenaran sejati yang disimbolkan dengan danghyang Sumbi atau Rarasati[13].
Hakekat sang kuring yang manusia biasa sering terkena lupa sehingga cahaya pencerahan yang didapat bisa saja hilang atau terlindas oleh keinginan nafsu. Sang kuring harus terus hati-hati dan eling (teropong/meneropong) agar tidak terjatuh dan digagahi/atau dikuasi kebimbangan (si Tumang), karena kebimbangan akan melahirkan sang kuring yang egois dan tidak tercerahkan. Ego kuring ini bersebrangan dengan nurani yang tercerahkan. ketika yang menguasai adalah ego kuring maka nurani mengusir sang kuring dari pangkuan pencerahan (Dayang Sumbi memukul Sangkuriang dengan sendok). Dari pada menyadari kesalahan, sang ego dengan kesombongannya malah berkeliling dunia untuk mencari ilmu keduniawian.
Secara sadar ataupun tidak dalam perjalananya sang ego rasio kembali ke asal dan bertemu kembali dengan nurani yang tercerahkan. Pertemuan ini tidak mudah untuk disatukan, sang ego dengan segala kesombongan ilmunya untuk bisa bersatu dengan nurani tercerahkan harus berusaha hidup manusiawi dalam kehidupan sosialnya yang beragam (citarum). Ia harus mampu membentuk dan mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan barunya (talaga bandung) dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Keinginan bersatunya antara ego dengan nurani sang kuring tidak didasari oleh niat yang tulus. Sang kuring ingin bersatu lebih bertujuan ingin mendominasi dan menaklukkan sang nurani yang telah mengusirnya. Sang kuring mengalami kegagalan ketika ia mendasarkan dirinya dengan kesomboangan dan tidak menyadari akan asal keberadaannya. Sang kuring tidak terlepas dari tunggul (bukit Tunggul) atau asal dirinya dan asal mula lahirnya kehidupan (digambarkan dengan timur tempat keluarnnya matahari). Mempunyai keturunan yang nanti akan menjadi tulang-belualang tak berguna (gunung Burangrang). Hidup tidak bisa dikendalikan sang ego karena yang menghidupi bukan dirinya. Harapan untuk bisa bersatu dengan nurani akhirnya terputus oleh menjemputnya kematian (Boeh rarang).
Sang ego hanya bisa meratapi, akhirnya ia tersadar dan membuang/menendang sifat egoistis dan mendapatkan dirinya seonggok manusia transendental yang bersujud (tangkuban parahu). Untuk memenuahi harapannya maka dikejarlah sang nurani maka ia hanya mendapatkan sang nurani tidak lagi ada dan hanya menjadi saksi (jaksi) dari perbuatanya.
Puncak kedarannya akhirnya sang kuring benar-benar melepasakan semua sifat ngaberung (ujung berung)/ keegoisannya. Dengan membuang dominasi keegoisan (manglayang) ia membuka kran komunikasi (sanghyang tikoro) kehidupan. Melakukan kebaikan, baik melalui ucapan (menjaga ucapan) maupun makanan (menjaga dari yang haram).

Tafsir suluk Haji Hasan Mustopa
Haji Hasan Mustofa sang begawan sunda menyebut legenda Sangkuriang suluk Bandung, sebuah lakon ziarah sufistik manusia. Ia menggap Sangkuriang sebagai jangkar dalam pencarian Tuhan. Sebagaimana yang terungkap dalam bait pantun dibawah ini[14]:
Jangkarna jati walagri, waluya kasampurnaan, kaperong bawatna bohong, disulukan disindiran, bukaeun di pawekasan, mungguh pasulukan Bandung, kacarita Sangkuriang.
Jangkarnya sehat sejati, selamat kesempurnaan, tampak perbawanya bohong, disuluki disindir, untuk dibuka di akhir nanti, kalau ilmu suluk Bandung, tersebutlah kisah Sangkuriang.
Dalam pasulukan Haji Hasan Mustapa, seorang Sangkuriang mengerti bahwa dunia yang mengelilingi dirinya ibarat lautan, demikian luas dan dalam sehingga siapapun yang terbenam ke dalamnya sulit untuk menyelamatkan diri. Pengertiannya tentang dunia itulah yang menyebabkan ia diminta kesanggupannya untuk berlayar mengarungi lautan.
Pelayaran adalah simbol perjalanan mengarungi dunia tanpa tersentuh airnya, dengan perahu layar sebagai jasad dan seluruh perangkat nalar yang ada padanya sedangkan nafs sebagai penunggangnya. Meski seorang pencari Tuhan mesti sanggup mengarungi lautan, keberanian Sangkuriang pergi berlayar itu disebabkan oleh dorongan syahwatiahnya. Seketika ia membuat dudukan perahu yang ukurannya terlampau besar. Dudukan perahu ini adalah seluruh aspek penalaran jasadiah yang diperlukan untuk duduknya sang nafs. Sangkuriang hanya mementingkan pembangunan konstruk penalaran yang sebanyak-banyaknya untuk menjaga semua kemungkinan yang dapat mencegahnya tenggelam dalam masalah keduniaan. Disebabkan niatnya yang tidak murni, ia menjadi lalai terhadap kewajiban menahan diri dari unsur keduniaan itu sendiri yang pintu masuknya ada pada kerongkongan; pintu masuk ini disimbolkan dengan Sangiang Tikoro. Sangiang Tikoro adalah saluran air bawah tanah yang menghubungkan Cekungan Bandung dengan daerah luar. Sangiang Tikoro mesti dibendung bila hendak menciptakan danau di Cekungan Bandung. Bahkan ranting pohon dirinya yang hendak tumbuh (rangrang) berubah menjadi Gunung Burangrang.
Sangkuriang demikian lalai hingga habislah waktunya untuk berjalan. Kekhawatiran Sangkurianglah yang menyebabkan gagalnya pelayaran itu sehingga ia mengalami 'kesiangan'. Haji Hasan Mustapa menegaskan lagi bahwa dongeng ini merupakan siloka bagbagan nyawa, yaitu seloka tentang jiwa/nafs.

Konsep-konsep dibalik mitologi Sangkuriang
Beragam interpretasi yang muncul dilatarbelakangi oleh pemaknaan terhadap konsepsi yang terkandung pada pesan yang disampaikan dari rangkain cerita yang dituturkan. Konstruksi konsep yang disampaikan ini tidak terlepas dari milieu untuk mengatasi ruang dan mendudukkan kemanusiaan pada tempat yang tak terjajah oleh kepanaan. Konsep yang utuh mengandaikan semua bagian yang dibutuhkan untuk menyokong tegaknya teori terpenuhi, baik dari akar, cabang sampai kepada rantingnya.
Dalam kacamata tersebut mengidentifikasikan bahwa Sangkuriang adalah sebuah konsep Kepercayaan atau filsafat hidup masyarakat sunda buhun. Ada keterkaitan yang erat antara realitas Hyang dengan sang kuring, sang kuring dengan Citarum, dan sang kuring dengan Gunung dan si Tumang. Secara sederhana ini adalah gambaran dari sang kuring secara personal dan mandiri tidak terlepas dari tiga hakekat yaitu Ketuhanan (Hyang), Sosial (Citarum dan talaga bandung), dan Alam. Aspek kedirian sang kuring tidak terlepas dari unsur kemanusiaan yaitu problem kehidupan dan kematian, nurani dan rasio, ego dan superego. Sang kuring hidup bebas dengan segala potensinya dalam batasan dunia yang meliputinya.
Dua konsep yang terkandung dalam mitologi tersebut yaitu konsep ketuhanan/ teologis dan kemanusiaan akan coba digali dibawah ini:
1. Konsep teologis
Menurut Jakob Sumardjo (2002), dalam lintasan sejarah kerohanian Indonesia dikenal adanya hirarki tiga dunia, yaitu; dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia hyang, dunia tengah adalah dunia perantara yang bersipat gaib dan ambivalen, dan dunia bawah adalah dunia manusia. Manusia berasal dari dunia atas dari sang hyang. Oleh karena itu dalam kepercayaan sunda istilah yang merujuk kepada tuhan adalah hyang atau sanghiang. Istilah hyang dianggap sebagi istilah universal yang dipercaya sebagai perwujudan logos, kata tersebut pararel dengan tuhan Allah dalam islam dan kristen, Tian dalam Konghucu. Perbedaan pelapalan dan kata kalau dianalisa secara semiotis terletak pada aspek langue[15] bukan pada penanda absolutnya.
Gambaran ketuhanan dalam mitologi diwakili oleh sosok raja Perbangkara/ Prabhangkara. Raja adalah sesuatu yang dikenal dalam budaya manusia hal ini untuk menunjukkan keberadaan tuhan yang tidak jauh dengan kemanusiaan. Tuhan yang aktif yang tanggap akan doa hambanya. Tuhan yang memberikan wayungyang atau cahaya pencerahan kepada manusia baik dalam bentuk wahyu, ilham, alam sebagai sebuh pegangan.
Komunikasi antara dunia atas dan dunia bawah yang disimbolkan melalui Dayang Sumbi atau Danghyang Sumbi dapat dianalisa bahwa Danghyang Sumbi berposisi di dunia tengah yang dalam kepercayaan sunda dianggap juga memiliki aspek metafisis “Hyang” sebagai refresentasi dari dunia atas. Perkawinan yang di harapkan bukan perkawinan dengan Dayang Sumbi tetapi perkawinan dunia atas dan dunia bawah atau ber-tajalli-nya manusia dengan Tuhan. Danghyang Sumbi adalah perantara yang bisa menyatukan antara kedua dunia tersebut, atau bisa di sejajarkan dengan ajaran cinta ketuhanan yang bisa mengantarkan kedekatan manusia dengan Tuhan.
Bagaimana Tuhan yang digambarkan Sangkuriang apakah tuhan politeis atau tuhan monoteis. Untuk mendapatkan jawaban tersebut karena tidak terdapat dalam teks akan dicoba dianalisa dari kata yang berhubungan dengan alur cerita yang secara tersirat menyinggung persoalan tersebut. Dalam alur diceritakan bahwa ketika Sangkuriang hendak membuat perahu untuk berlayar ia menebang sebuah pohon, bekas pohon tersebut kemudian menjadi tunggul. Tunggul bisa dipahami sebagai asal pohon atau ditarik kepada tataran yang luas adalah asal dari segala sesuatu, termasuk awal dari manusia itu sendiri. Manusia lahir dari proses hidup alami yang awalnya adalah dari satu eksistensi.
Kata tunggul dalam analisa semiotik secara ponetis dekat dengan kata tunggal/ nunggal/ tutunggul/ tanggul/ tanggal. Tunggul identik dengan Tunggal, awal sesuatu adalah tunggal kemudian menjadi tunggul. Asal dan akhir sesuatu inilah yang merepresentasikan hakekakat ketuhanan. Hakekat ketuhahan dalam mitologi tersebut bisa dipahami sebagai Tuhan yang tunggal atau monotheis.
2. Konsep kemanusiaan
Sangkuriang atau sang kuring[16] dalam mitologi tersebut apabila di analisa lebih lanjut menujukkan bagaimana sebuah konsep kesundaan tentang manusia sunda atau filsafat manusia orang sunda dikemas, digambarkan, dan disampaikan kepada kita sebagai sebuah prinsip yang mapan dan utuh baik sebagai manusia psikologis, sosial, maupun spritual. Berbicara inti manusia, alam kodratnya dan strukturnya yang fundamental. Bukan hanya manusia dilihat sebagai suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya (principe d'etre). “Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11).
Manusia yang sang kuring ini pertama digambarkan sebagai mahluk biologis (Sangkuriang lahir dari ibunya Dayang Sumbi) yang mempuyai hasrat seksual (ingin mengawini perempuan), makan dan minum (berburu untuk makan). Ilustrasi ini menunjukkan bahwa sang kuring bukan dewa atau spiderman tetapi manusia biasa. Sang kuring secara biologis adalah manusia yang berkaitan dengan unsur material, manusia secara otomatis tunduk kepada takdir tuhan di alam semesta.
Sang kuring apabila dibandingkan dengan makhluk lainnya (anjing si tumang) mempunyai kelebihan karena ia diberi Nurani dan Akal. Lewat akalnya manusia diberi kemampuan mengembangkan daya nalarnya (Sangkuriang mengembara). Melalui potensi akalnya inilah manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Nurani selalu membingbing manusia untuk taat dan patuh pada cahaya tuhan, tetapi karena potensi akalnya manusia bebas mengikuti atau melepaskan diri dari-nya.
Manusia juga adalah makhluk sosial. Permintaan Danghyang Sumbi membuat Talaga Bandung adalah manifestasi dari pentingnya kehidupan sosial--Talaga Bandung: Dalam kehidupan di dunia ini kita ibarat perahu yang dirakit berpasangan dengan sesama makhluk lain yang saling bergantung dan setara--. Sang kuring bukan hanya membuat telaga kehidupan--membangun tatanan masyarakat-- tetapi mengarungi telaga tersebut dengan perahu yang kokoh supaya tidak tenggelam dalam riuh dan ributnya arus air. Melepaskan tabir individualitas dan kesombongannya dengan menjaga tikoro atau kerongkongnnya dari hal yang mencelakakan.
Manusia yang diilustrasikan mitologi Sangkuriang memperlihatkan manusia dalam ketegangan antara predisposisi negatif dan positif. Dorongan nafsu mendorong manusia untuk terjun ke lembah syahwatiah dan mengabaikan nilai-nilai cahaya pencerahan; sedangkan nurani menuntun manusia senantiasa mengakrabi tuhan dan kebenaran. Manusia dituntut untuk memenangkan predisposisi positif yaitu mengikuti fitrah kemanusiaan.
Manusia secara kongkrit dituntut harus menyeimbangkan atau mengawinkan antara rasio dan nurani dengan tulus. Melakukan perintah dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab. Sehingga manusia menemukan dirinya nunggal dalam kesatuan eksistensi.

Penutup
Demikianlah sekelumit kearipan pandangan hidup Sangkuriang dalam melayari kehidupannya baik sebagi manusia lahir ataupun manusia transenden. Tentu saja tafsir ini bukanlah satu-satunya karena dalam mitologi tersebut masih menyimpan beribu tafsir kearipan yang dapat kita ambil dan hayati.




DAFTAR PUSTAKA
1. Ajip Rosidi, (1989): Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, Pustaka: Bandung
2. Wouden, F.A.E. van, Klen, mitos dan kekuasaan, Jakarta, Grafiti Pers, 1985
3. Hidayat Suryalaga, “Peran Sangkuriang dan Dayang Sumbi dalam legenda gunung tangkuban parahu”, internet ekplorer, 2002.
4. Iwan Suryolaksono & Alfathri Adlin, Dari Mitos Oedipus hingga Dongeng Sangkuriang, (PICTS). Bandung.
5. Kurniawan, Semiologi Rolland Barthes, Magelang, Indonesiatera. 2001
6. Jakob Sumarjo, Arkeologi budaya Indonesia, Yogyakarta, Qalam. 2002
7. E. Sumaryono, Hermeneutika, Yogyakarta, Kanisius. 1999.
8. Hunnex, Milton, Peta filsafat; Pendekatan kronologis dan tematis, Bandung, Teraju. 2004
9. Jalaluddin Rahmat, “Konsep-konsep Antropologis”, Paramadina, Jakarta
10. Paz, Octavia. Levi Straus; Empu antropologi struktural, alih bahasa Landrung Simatupang, Yogyakata, LkiS. 1997
11. Lyotard,Jean Francois, Posmodernisme; Krisis masa depan pengetahuan. Bandung, Teraju Mizan, 2004
12. Leahy, Louis, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta:Gramedia. 1986

[1] Diambil dari Hidayat Suryalaga, “Peran Sangkuriang dan Dayang Sumbi dalam legenda gunung tangkuban parahu”, 2002. hal 4-5
[2] Jeans F. Lyotard tokoh filsup posmodernisme Prancis menolak legitimasi narasi besar sebagai representasi kemodernan sebagai alternatif ia menghidupkan kembali narasi-narasi lokal pada tempat yang sejajar.
[3] Dalam filsafat bahasa “simbol” tercipta secara konvensional, seperti anggukan kepala yang berarti setuju. Simbol ini menunjukkan kepada sesuatu yang sudah disepakati pada suatu sistem budaya dalam ruang dan waktu tertentu.
[4] Opcit.
[5] Lihat dalam Kurniawan, Semiologi Rolland Barthes, Indonesiatera, Magelang, 2001, hal 53.
[6] Opcit.
[7] Istilah kosmos dipakai oleh Pythagoras filosof Yunani (580-500 SM) untuk melukiskan keteraturan dan harmoni pergerakan benda-benda langit. Kosmologi adalah pengetahuan tentang alam semesta yang berupaya memahami struktur ruang-waktu dan komposisi alam semesta skala besar dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan alam
[8] Logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti alasan teologis perbuatan-perbuatan yang mengacu kepada perinsif universalitas. Dalam ensiklopedia encarta dijelaskan: Logos is a mediating principle between God and the world and can be understood as God’s Word or the Divine Wisdom, which is immanent in the world.
[9] Petanda erat dengan filsafat bahasa yang berarti konsep atau representasi dari sesuatu.
[10]Penanda berarti adalah relatum/mediator yang substansinya berbentuk materi seperti suara, objek, bukan sebuah konsep.
[11] Bandingkan dengan fungsi agama. Agama merujuk dan mendasarkan dirinya pada keabadian (tuhan dan kehidupan sorgawi)
[12] Istilah ego dipakai oleh Sigmund Freud yang mengatakan ada tiga bagian dari manusia yang selalu konflik secara internal yaitu ego, id, dan superego. Menjadi manusia harus bisa menaklukkan id dan mengontrol superego. Tapi dalam makalah itu tidak sepenuhnya mengacu kepada pendapat diatas.
[13] Nama lain dayang sumbi yang berarti Hati atau qalbu yang penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi.
[14] Sebagian besar teks Haji Hasan Mustapa dalam makalah ini dikutip dari Ajip Rosidi, (1989): Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, Pustaka: Bandung
[15] Langue dalam filsafat bahasa menurut Saussure seorang tokoh stukturalis adalah bahasa yang mengindividukan makna atau bahasa yang direkam secara pasif, ia merupakan produk sosial dari kemampuan bahasa dan sekaligus keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial yang memungkinkan mempergunakan kemampuan itu. Langue ini sangat dipengaruhi oleh budaya.
[16] Dalam bahasa Sunda kuring berarti “aku”, “saya” atau yang menujukkan kepada subyek pelaku yang secara personal mandiri.
posted by Kharien @ 11:09 PM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Desah sabda pandita
    [Abdullah Sungkar : Dalam hidup, yang paling sulit bagi seseorang adalah memutuskan memilih jalan hidup yang benar. Dan yang lebih sulit lagi, mempertahankan jalan hidup yang benar itu hingga sampai ke tujuan, yaitu mardhatillah]

    [Afrizal Malna : Kebingungan memang selalu menyertai keabadian]

    [Albert Einstein : Yang bisa saya lakukan adalah memberi contoh terbaik dan punya keberanian menjunjung tinggi etika sosial]

    [Albert Einstein : Saya tidak punya bakat khusus. Saya hanya orang yang benar-benar penasaran]

    [Albert Einstein : Satu hal yang saya pelajari seumur hidup. Semua pengetahuan kita, mencoba mengatur segala realitas, adalah primitif dan kekanak-kanakan. Tapi itu adalah hal paling dewasa yang kita punya]

    [Amir Hamzah : Dimana kau rupa tiada, hanya kata merangkai hati]

    [Ba Jin : Hanya dengan jujur kepada orang lain dan kepada diri sendiri, anda dapat menilai siapa anda sebenarnya]

    [Ben Agger : Media sebagai salah satu faktor ekonomis dan politis penting pada era kapitalisme akhir yang meningkatkan dominasi dengan mempromosikan kesadaran palsu dan melalui komodifikasi, memberikan kontribusi terhadap laba]

    [Bob Dylan : Demokrasi tidak akan mampu menguasai dunia. Camkan dalam pikiranmu: di dunia ini kekerasanlah yang berkuasa. Tapi tidak usahlah kau ucapkan itu]

    [Castoriadis : Kalau kamu bermimpi sendiri, maka itu pasti mimpi. Tetapi kalau kamu bermimpi bersama, itulah kenyataan]

    [ Charles Bukowski : Jika saya berhenti menulis, saya mati. Dan itulah satu-satunya cara saya akan berhenti menulis: mati ]

    [Clementine Paddleford : Kita semua punya selera akan kampung halaman. Setiap manusia terikat pada asal usulnya]

    [Corazon ‘Cory’ Aquino : Kehidupan yang dilakukan dengan baik pasti dapat menghasilkan perubahan besar]

    [Eduard Bond : Kekerasan tidak akan pernah menjadi jalan keluar dalam drama-dramaku, sebagaimana tidak akan pernah jadi jalan keluar dalam kehidupan manusia]

    [Elias Canetti : Momen survival adalah momen kekuasaan... Bentuk paling rendah dari survival adalah membunuh... Momen konfrontasi dengan dia yang dibunuh memenuhi seorang survivor dengan semacam kekuatan yang khas yang tidak dapat disamakan dengan kekuatan-kekuatan lainnya]

    [Euripides : Tuhan membenci kekerasan. Ia menciptakan manusia untuk memiliki hak mereka dengan benar, bukan dengan cara merampas]

    [Fariduddin Attar : Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu mereka sendiri]

    [Goenawan Muhammad : Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu]

    [Goenawan Muhammad : Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka dan trauma, tapi juga dengan harapan]

    [Hannah Arendt : Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasan... Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas]

    [Indira Gandhi : Jika aku mati karena kekerasan sebagaimana yang ditakutkan dan direncanakan sejumlah orang. Sesungguhnya kekerasan itu akan menetap di kepala dan batin sang pelaku, bukan pada diriku yang sekarat]

    [Isaac Asimov : Kekerasan adalah senjata terakhir orang yang tidak memiliki kemampuan]

    [Jalal Al Din Al Rumi : Keberadaan lahir ketika kita jatuh cinta kepada ketiadaan]

    [Jean Baez : Satu-satunya kegagalan yang lebih buruk dari tindakan anti kekerasan adalah kekerasan itu sendiri]

    [Jean Baudrillard : Berahi mewakili penguasaan alam raya simbolis, sedangkan kekuasaan hanya mewakili alam raya nyata]

    [Jean Baudrillard : Menggoda artinya tampak lemah. Menggoda adalah membuat lemah. Kita menggoda dengan kelemahan kita, tidak pernah dengan tanda-tanda atau kekuatan yang besar. Dalam godaan, kita mencipta kelemahan ini, dan inilah apa yang memberi kekuatan pada godaan]

    [Jean Ganet : Yang kita butuhkan adalah benci. Dari sana ide-ide dilahirkan]

    [Karl Marx : Ide-ide kelas penguasa, dalam setiap jaman, yang mendominasi kekuatan material dalam masyarakat pada saat yang bersamaan adalah sama dengan kekuatan dominan intelektual]

    [Mahatma Gandhi : Seseorang boleh dikatakan sebagai orang hebat jika ia punya kebijaksanaan! ]

    [Mahatma Gandhi : Mengapa aku melawan kekerasan? Bagiku, meski kekerasan melakukan tindakan yang baik, ia semu belaka. Wajah abadi adalah kekerasan itu sendiri]

    [Martin Heidegger : Kematian adalah kemungkinan yang paling sesungguhnya dari manusia]

    [Martin Luther King Jr. : Seorang manusia baru hidup sungguh-sungguh kalau dia bisa menjulang keatas batas-batas yang sempit kepentingannya sendiri dan mengabdikan diri kepada kepentingan umum seluruh umat manusia]

    [Noel Coward : Saya tak menganggap pornografi merusak, tapi sangat, sangat membosankan]

    [Rabinranath Tagore : Betapa gurun merindukan cinta sejumput rumput. Rumput menggeleng, tertawa dan berlalu]

    [ Ranier Maria Rilke : ...bahwa sesuatu itu sulit dilakukan adalah satu alasan mengapa kita mesti melakukannya]

    [ Robert Penn Warren : Puisi adalah sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia untuk membuat hidupnya bermakna. Puisi, pada akhirnya, bukan sesuatu yang kita lihat. Yang lebih tepat, puisi adalah cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas dan sesuatu itu adalah hidup. Pada akhirnya, seorang penyair mungkin lebih takut kepada seorang dogmatis daripada seorang sentimentalis. Yang pertama, ingin mengekstrak pesan dari puisi lalu mencampakkan puisinya, sedangkan yang kedua adalah orang yang berkata, "Oh, tolong biarkan saja saya menikmati puisi apa adanya]

    [ Romo Yoso Sudarmo : ...hidup itu jangan pernah sekali pun meninggalkan seni ]

    [Ronal Reagen : Future doesn’t belong to the fainhearted, but it belongs to the brave]

    [Sigmund Freud : Tubuh yang tertutup, menuruti tuntutan peradaban masyarakat, akan selalu membangkitkan keingintahuan seksual dan berfungsi sebagai suplemen daya tarik objek seksual melalui tindak penyingkapan bagian-bagian tersembunyi]

    [Stephen King : Pekerjaan menulis fiksi adalah menemukan kebenaran dalam jaringan kebohongan cerita fiksi, bukan untuk melakukan kebohongan intelektual demi memburu uang]

    [Sudisman : Curahkan penuh pikiran kepada tugasmu dan laksanakanlah dengan baik, sebab tugas adalah suci]

    [Sun Tzu : Dalam menghadapi musuh, kita harus menjaga persatuan dalam angkatan perang kita, karena kehilangan seorang anggota saja berarti kita melemah dan keuntungan bagi musuh]

    [Tan Malaka : Bergelap-gelaplah dalam terang, berterang-teranglah dalam gelap!]
About Me


Name: Kharien
Home: Cianjur, Jawa barat, Indonesia
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Affiliates
15n41n1