Monday, February 12, 2007 |
FOTRET AGAMA MASA KINI |
Paul Tillich seorang pakar studi agama dalam buku teologi kebudayaannya menyatakan bahwa agama adalah konfleksitas. Ia mewujud dalam berbagai ranah kehidupan manusia, salah satu bentuk manifestasinya adalah budaya. Agama selalu menjiwai seluruh gerak kebudayaan. Sejarah manusia yang selalu bersinggungan dengan dimensi kesucian agama memberikan implikasi besar terhadap kontruksi kebudayaan dunia. kebudayaan yang merupakan cerminan dinamika dua elemen fundamental dalam kehidupan manusia yaitu agama dan rasio. Abad pertengahan sering disebut abad agama, baik islam di masa kejayaannya ataupun kristen sebelum masa renaisans betul-betul mendominasi. Gereja menjadi institusi yang punya hak legitimasi kebenaran, segala sesuatu yang bertententangan dengannya diberangus. Budaya yang didominasi agama kadang mematikan rasio, sebagai contoh ketika Galileo menyatakan bahwa sebetulnya yang bergerak dalam sistem tata surya itu bukan matahari, tetapi bumi. Penganut doktrin kristen yang beranggapan lain bereaksi keras dan menghukum mati Galileo dengan cara meminum racun. Ungkapan Penyair muslim terkenal Jalaluddin Rumi, "Di negara yang diperindah cinta, akal digantung; Di negara yang diperintah akal, agama disembelih" seakan tak terbantahkan. Persinggungan agama dengan ilmu atau rasio menimbulkan pengaruh cukup besar. Secara diametral keduanya saling mempengaruhi. Perkembangan ilmu yang demikian pesat akhir-akhir ini yang diramalkan oleh para ahli akan mematikan agama, ternyata tak terbukti. Agama bahkan tampil kembali kepermukaan dengan bentuknya yang baru. Tantangan sains yang positivis yang memarjinalkan agama dan mengangapnya tak berguna karena tak bisa dibuktikan secara ilmiah mendorong para agamawan untuk mengkaji kembali agama secara lebih mendalam dan mencari bentuk relevansinya dengan keadaan sekarang. Agama di interpretasikan ulang. Karena pemahaman keberagamaan selalu meruang dan mewaktu maka bentuk keberagamaan era sekarang pun sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio historis zaman ini. Pada era globalisasi agama dan budaya sekarang ini, umat suatu agama di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Mereka juga dituntut tidak lagi menutup diri. Keterbukaan dan sikap membuka diri dalam ruang publik dan dialog antar keyakinan diharapkan akan mendorong pemahaman keberagamaan yang pluralis, toleran dan egaliter. Namun hal itu bukan tanpa hambatan, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Hambatan itu kadang berupa pemahaman keagamaan yang terlalu ekslusif, doktriner, dan kaku. Klaim bahwa agamanya yang terbenar akan menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Agama dan keyakinan lain akan dianggap sebagai sesat. Perang dan pembunuhan sering terjadi atas nama agama dan Tuhan. Kasus Sampit, Ambon rasanya masih mengiang ditelinga kita. Betapa dahsyatnya akibat yang harus dipikul dengan kehilangan keluarga, sanak famili, dan harta benda ketika keberagamaan yang seharusnya menentramkan malah menjadi bencana kemanusiaan. Selain itu, setiap agama mau tidak mau harus mendasarkan diri pada the holy scrupture atau kitab suci. Teks dalam kitab suci diletakkan dalam posisi yang supreme, begitu tinggi sehingga mengalahkan realitas hidup yang terus berubah. Fenomena sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari kecenderungan yang sudah berurat berakar lama dalam agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar pokok dalam fundamentalisme agama (termasuk di dalamnya adalah fundamentalisme Islam) adalah kehendak untuk mengukuhkan teks. Fundamentalisme ini seringkali dituduh sebagai biang keladi penghambat terjadinya harmonisasi hubungan antar agama, karena teks yang menjadi rujukannya hanya bersandarkan pada satu keyakinan. Dan realitas manusia adalah beragam, maka tidak mungkin menyamaratakan manusia dalam satu teorema dan pandangan hidup meskipun itu kitab suci namanya. Kalau sikap pluralis, egaliter dan inklusif tidak bisa di tanamkan sekarang, maka yang muncul kemudian adalah sikap sebaliknya; kemungkinan kisah-kisah tragis fanatisme keagamaan akan dicatat kembali dalam lembaran buram sejarah agama-agama. Keberadaan agama sendiri secara fungsional adalah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dinamika zaman yang sarat akan konflik menjadikan fungsi agama menjadi sebuah sarana harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya. Perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya dan hal semacam ini tentu saja menjadi sebuah proses kesejarahan dan dialektika terus-menerus dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia.
Agama dan pluralisme Dalam wacana hubungan antar agama sikap yang berusaha saling memahami, terbuka (inklusif) dan egaliter sering disebut toleransi. Toleransi adalah norma dan etika yang bisa ditemukan pada kefitrian insani. Ukuhuwah dan toleransi adalah pesan abadi Qurani yang berulang-ulang disampaikan oleh para Nabi. Selain itu toleransi juga hampir sepadan dengan kata pluralisme. Dari sudut pandang bahasa kata ini sangat mudah dipahami, plural berartikan banyak jumlah. Kata pluralisme bermula dari adat-istiadat gereja pada abad-abad pertengahan. Diawal kemunculan istilah ini, seseorang yang memiliki banyak kedudukan gerejani (misalnya seorang pastor yang sekaligus politisi dan pedagang) disebut sebagai seorang pluralis. Dalam konteks kekinian, pluralisme memiliki pengertian yang berbeda-beda bergantung pada sudut pandangannya. Pengertian pluralisme secara politis, filsafat, sosial, dll. Term pluralisme saat ini seolah menjadi trade mark agama. Julukan sang pluralis pun menjadi kebanggaan. Gejala pluralisme populer bersama modernisme. Nurcholis Majid tokoh Modernisme Indonesia misalnya merupakan salah seorang penggagas pluralisme sebagai alternatif menjawab kondisi keagamaan di Indonesia yang rentan konflik dan keluar dari ortodoksi fatalistik. Wacana pluralisme saat ini semakim diminati oleh banyak kalangan. Seiring dengan makin banyaknya konflik yang ditengarai sebagai akibat dari perbedaan agama atau mazhab. Pluralisme agama adalah sebuah solusi ilmiah untuk meredam keadaan yang melanda tersebut. Pluralisme agama memberikan pesan untuk setiap umat manusia bahwa keyakinan kepada sebuah agama tertentu bukan alasan untuk menyalahkan agama lainnya. Pluralisme agama menyatakan bahwa kebenaran adalah milik bersama.
Kritik terhadap pluralisme Tetapi konsep ini bukan tanpa masalah, pluralisme menyatakan semua agama itu memiliki hakikat kebenaran. Islam yang monotheis benar. Kristen yang politheis benar. Hindu yang trimurti juga benar. Dalam konteks ini, mungkinkah akal kita bisa menerima kebenaran dua hal yang kontradiktif ini? Mungkinkah Tuhan itu satu dan pada saat yang sama Tuhan itu tiga? Mungkinkah Tuhan itu ada dan pada saat yang sama tidak ada ? Allamah Mizbah Yazdi mengkritik dengan pedas pandangan ini sebagaimana dikutip Alireza al-Athas dalam artikelnya “terminologi Pluralisme”. Ia memberikan empat terminologi pluralisme serta mengkritisinya, sebagai berikut; Pluralisme adalah toleransi, Pluralisme berarti memandang sama sebagai satu hakikat, Pluralisme memandang bahwa hakikat itu banyak bentuknya, dan pluralisme berarti hakikat terdiri dari beberapa unsur dan masing-masing tersimpan dalam sebuah agama. Pertama pluralisme adalah toleransi, artinya bahwa tidak seharusnya umat manusia saling memerangi. Hidup tentram dan tenang adalah harapan setiap umat manusia. Agama atau mazhab bukan kendala untuk hidup bertoleransi diantara para pemeluk agama yang berbeda. Agama Islam sama sekali tidak menentang pluralisme sosial dalam pengertian ini. Bahkan Islam sangat menjunjung tinggi toleransi. Islam jelas-jelas menentang pemaksaan pendapat, apalagi bila dibarengi dengan kekerasan fisik. Setiap manusia berhak memilih pendapatnya sendiri, berhak memilih agama, partai atau mazhabnya sendiri, namun pada saat yang sama manusia juga harus menghormati orang lain yang memiliki pilihan berbeda dengan dirinya. kedua pluralisme Memandang Sama sebagai Satu Hakikat. Dalam pandangan ini, perbedaan antara agama-agama yang ada terjadi karena perbedaan interpretasi, bukan kerena perbedaan esensi agama itu sendiri. Oleh karenanya, kebenaran hakiki bukan milik satu golongan. Manusia terkadang memahami hakikat didalam agama Yahudi, terkadang juga memahaminya didalam agama lainnya. Setiap orang memahami hakikat agama sesuai dengan inteletualitas dan latar belakang kehidupannya. Tidak ada yang berhak mengklaim pemahaman pribadinya atas hakekat sebagai yang paling benar. Dalam pengertian ini, agama dianggap semata-mata rekayasa akal. Karena setiap orang memiliki akal, maka, berdasarkan akalnya masing-masing, mereka berhak menafsirkan hakikat. Terminologi kedua ini juga menjadikan hakikat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami manusia sepenuhnya. Bagaimana dengan islam, kata Yazdi Islam jelas berkeberatan dengan konsep pluralisme dalam pengertian semacam ini. Contohnya, di beberapa ayatnya, Al-Quran menolak hakikat yang dipahami umat Kristen berkaitan dengan konsep anak Tuhan (al-Kahfi, ayat 4-5). Atas kritikan Quran ini, terminologi ini memberikan jawaban yang sangat absurd. Mereka bahkan tidak segan-segan menyatakan bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat ini sama sekali bukan wahyu Tuhan melainkan hasil interpretasi para agamawan di zaman dulu. Karena itu, interpretasi mereka tersebut dilatarbelakangi pengetahuan sosial, fisik, dan natural yang terbatas dan sangat klasik. Sementara itu, kemampuan interpretasi manusia telah jauh berkembang. Maka, semestinya, interpretasi tentang hakikat dimasa sekarang ini jauh lebih maju dan oleh sebab itu, hasilnya harus jauh lebih baik. Begitulah seterusnya. Manusia tidak akan pernah sampai pada hakekat kebenaran. Manusia bahkan tidak akan mampu membuktikan hakekat kebenaran bahwa Tuhan itu ada atau tidak, apalagi kalau harus membuktikan bahwa Tuhan itu satu atau banyak. Sangat aneh dan absurd! Peter Donovan beranggapan bahwa pluralisme tidak hanya menyelundupkan pesan toleransi sekaligus penolakan terhadap agama tetapi juga agen dari liberalisme politik internasional. Jurgen Multman bahkan menyebut bahwa toleransi itu tidak lebih sebagai pemberangusan. Ia menyetarakan pluralisme agama dengan konsumerisme masyarakat barat, satu gaya hidup pemujaan produk, sebagai berkah proyek admass dan imajinatisasi Amerika. Plurarisme adalah sebuah fenomena ambisi ekonomi dan sosial.
Pluralisme dan liberalisme Pluralisme dan liberalisme merupakan ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama. Sejalan dengan liberasi ekonomi politik dan ekonomi internasional, liberasi dalam bidang pemikiran pun dicakarkan. Kesenjangan ekonomi, peperangan, dan kelaparan adalah masalah manusia yang tidak bisa hanya dituntaskan melalui bantuan ekonomi dan gencatan senjata. Ada bayak sebab yang melatarbelakanginya, dan tentu saja ada bayak cara untuk menuntaskanya. Pemikiran yang liberal dan maju diyakini akan mampu mendorong kearah kadaan yang lebih baik. Gaya berpikir yang rasional, futuristik, kontektual dan tidak dogmatis menjadi tumpuan pencerahan. Dominasi taqlid diharapkan bisa dihapus, dan umat bisa keluar dari kungkungan tradisi yang tidak produktif. Dengan adanya kesadaran dan pandangan dunia yang seperti itu diharapkan manusia bisa menempatkan agama dalam posisinya yang tepat sebagai rohmatal lilalamin. Bukan sebagai pemicu konflik dan penghancur kebudayaan, tetapi sebagimana yang Tillich katakan menjadi fondasi budaya manusia. Liberalisme juga seakan suadah menjadi jamur dalam arena pemikiran. Tumbuh bukan hanya dilingkungan intelektual perkotaan, para mahasiswa, akademisi dan aktivis berbagai kajian diberbagai tempat menjadikan paradigma tersebut sebagai wacana baru pemikiran. Modernisme, Neo-modernisme, atau yang lebih populer sekarang Islam Liberal tidak hanya terbatas kepada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaharuan, ia telah menjadi wacana yang bukan hanya milik para pembaharu, tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganyapemikiran selalu menawarkan alternatif serta persefektif baru bagi kesadaran. Seperti Fazlur Rahman yang memberikan kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia dengan konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik lahir. Di dalam negeri sendiri bermunculan para pemikir yang jempolan. Seperti Harun Nasution, Nurcholis Majid, Gus Dur, Kang Jalal, Kuntowijoyo dan lainnya. Kemudian generasi muda seperti Ulil, dengan islam liberalnya juga menjadi fenomena baru akhir-akhir ini.
Akhir kata Agama yang sering dianggap sebagai esensi yang terdalam dan menyentuh setiap aspek kehidupan ternyata sarat tujuan. Secara fungsional keberadaannya bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Ditengah konflik global agama diharapkan mampu menjadi mainstream harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya. Perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya. Proses kesejarahan dan dialektika dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia terus-menerus berlangsung dalam dimensi pertarungan ruang dan waktu. Tujuan pokok beragama adalah pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, yang sehat dan matang secara psikologis. |
posted by Kharien @ 11:38 AM |
|
|
|
About Me |
Name: Kharien
Home: Cianjur, Jawa barat, Indonesia
About Me:
See my complete profile
|
Previous Post |
|
Archives |
|
Links |
|
Desah sabda pandita
Affiliates |
|
|