Monday, February 12, 2007 |
Fundamentalisme sebagai alternatif |
Dalam sejarahnya, istilah fundamentalisme pertama kali diperkenalkan di Barat oleh kaum Protestan Amerika pada awal abad ke 20. Istilah itu digunakan untuk membedakan kaum protestan yang terlalu memandang suci terhadap teks agama, dibedakan dengan kaum Protestan yang lebih liberal. Ketika itu, kaum fundamentalis—dengan segala karakteristiknya—cenderung menutup diri dari komunitas luar (eksklusif), sementara kaum Protestan yang liberal cenderung inklusif. Akibatnya kedua sikap itu menjadi preseden buruk yang dikotomis-antagonis. Bersama guliran sejarah, istilah “fundamentalisme” dipakai secara arbitrair untuk menyebut gerakan-gerakan purifikasi (pemurnian keagamaan) yang terjadi di pelbagai agama dunia lainnya. Fundamentalisme ini tidak bisa dilepaskan dari modernisme. Etos-etos modern ini membawa nilai konstruktif dan destruktif, penemuan-penemuan spektakuler di abad modern telah menggeser pandangan dari masyarakat irrasional menuju rasional. Dan itu merupakan keberhasilan yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Di samping itu etos-etos modern juga membawa nilai destruktif di dalamnya. Di mana hakikat zaman peralihan dari masyarakat agraris pra modern, modernis, ke post-modernis itu telah ditandai dengan permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang pelik. Problema modernitas ini pada akhirnya dibawa ke permasalahan teologis, yang diharapkan mampu menganalisa zaman peralihan yang telah mempengaruhi bagaimana suatu nilai dan ideologi harus diartikulasikan kembali. Pada kasus ketiga agama monoteisme secara umum, kaum fundamentalis telah melakukan aksi resistensi, kritisisme, moderatisme, kemarahan dan bahkan penolakan sama sekali terhadap etos-etos modern. Dengan demikian ada agenda bersama yang harus dicarikan solusinya, agar supaya cara keberagamaan umat manusia di era globalisasi dewasa ini semakin cair, inklusif, egaliter dan menghormati hak orang lain, baik dalam berteologi, berpolitik dan berbudaya, bukan dengan cara sikap beragama yang marah-marah. Maka untuk jangka waktu ke depan, ekspresi keagamaan yang menawarkan sikap moderat, senyum dan toleransi yang tinggi kepada umat lain, yang akan dilirik oleh banyak orang. Prinsip ini secara simplistis tercermin dalam ajaran ummatan wasathan sebagai upaya untuk keluar dari titik-titik ketegangan antara norma agama dengan realitas kekinian. Tentunya prinsip keabsahan moderatisme tersebut bertujuan untuk memudahkan bagi pemeluknya dan tidak membebaninya di atas batas kemampuan, sebagaimana Tuhan telah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapatkan siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepundak kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri Ma’aflah kami; ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286). Nilai-nilai luhur di atas telah dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad 15 abad silam. Sampai sekarang tidak ada jaminan dan batasan, bahwa nilai-nilai luhur yang tercermin dalam pribadi Nabi yang agung itu akan usang seiring dengan perjalanan waktu. Meski sudah ada jatah bahwa nilai-nilai itu shâlihun li kulli zamân wa makân (relevan dengan semangat zaman) Nabi selalu berpesan agar kaidah itu harus direntang dan dipancangkan ketengah kehidupan sosial, agar bisa beradaptasi dengan setiap peradaban manusia dan waktu. Pembaruan agama yang dimaksud adalah pembaruan pemahaman agama yang di lalui dengan ijtihad. Pintu ijtihad tersebut akan selalu terbuka terus sampai hari akhir dan tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu yang pernah dibuka oleh Rasulullah tersebut. Dengan demikian, Islam fundamentalis adalah fundamentalisme yang santun dengan berbagai perubahan tanpa harus menanggalkan hal yang paling fundamnetal dalam beragama. Memang untuk sampai kepada tujuan itu, banyak sekali hambatan-hambatan, baik teologis, politis maupun sosiologis. Wujudnya fundamentalisme dalam agama tidak jauh beda dengan partai-partai politik yang saling berebut pengaruh untuk mencari massa. Dengan begitu sikap menghadirkan pemikiran alternatif dengan klaim yang paling benar, absolute dan yang mewakili hak prerogatif Tuhan atau kelompok ideal, haruslah dilawan dengan mengembangkan wacana liberasi, bukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Karena melawan kekerasan dengan kekerasan adalah tidak menyelesaikan masalah, justeru malahan menimbulkan kekerasan baru lagi. Rekayasa wacana liberasi ini dihadirkan untuk menggusur mental elitis (la rahbâniyata fi al-dîn), radikal dan marah-marah dalam beragama dan menggantikannya dengan yang populis, cair, toleran dan egaliter. Dengan demikian setelah mengkampanyekan wacana fundamentalisme yang langsung, umum, bebas dan terbuka. Maka partai-partai fundamentalisme itu akan berlaga dalam sebuah ruang publik sebagai arena “transaksi” wacana. Disitulah masa depan partai-partai yang bernama “fundamentalisme” akan diuji dan diseleksi secara alamiah. |
posted by Kharien @ 11:30 AM |
|
|
|
About Me |
Name: Kharien
Home: Cianjur, Jawa barat, Indonesia
About Me:
See my complete profile
|
Previous Post |
|
Archives |
|
Links |
|
Desah sabda pandita
Affiliates |
|
|